Pada prinsipnya orang minang mengklasifikasikan adat menjadi empat macam yakni adat nan sabana adat (adat sebenar adat), adat nan diadatkan (adat yang diadatkan), adat nan taradat (adat yang beradat) dan adat istiadat.
Sederhananya, adat nan sabana adat itu merupakan aturan pokok dan falsafah hidup orang minang yang berlaku turun temurun tanpa dipengaruhi oleh tempat dan waktu, istilahnya ialah indak lakang dek paneh, ndak lapuak dek ujan. Dalam hal ini saya mencontohkan seperti sistem materlineal dan falsafah alam takambang jadi guru (Alam yang membentang dijadikan guru) yang dipakai oleh orang minang.
Kemudian adat nan diadatkan merupakan peraturan setempat yang diputuskan secara musyawarah dan mufakat atau aturan yang berlaku disuatu nagari (negeri/daerah) tertentu. Misalnya tata cara atau syarat-syarat pengangkatan penghulu dan tata cara perkawinan. Sehingga adat perkawinan antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam Minangkabau berbeda-beda, tata cara perkawinan di Pariaman berbeda dengan tata cara perkawinan di dareah lainya seperti Payakumbuh, Bukittingi dll.
Sedangkan adat nan taradat merupakan kebiasaan seorang dalam kehidupan bermasyarakat, misalanya seperti tata cara berpakaian, makan dll. Jika dahulu orang minang makan dengan tangan, maka sekarang orang minang sudah mulai menggunakan sendok untuk makan.
Terakhir ialah adat istiadat yang merupakan kelaziman dalam sebuah nagari atau daerah yang mengikuti situasi masyarakat. Biasanya adat istiadat ini dijewantahkan kedalam bentuk apersiasi seni, budaya, acara serimonial dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, tradisi bajapuik yang dipahami teman saya sebagai transaksi perkawinan itu termasuk kedalam kategori adat nan diadatkan. Di Minangkabau tradisi bajapuik atau transaksi perkawinan ini hanya terjadi di daerah Pariaman, sedangkan dareah lainnya tidak mengenal istilah transaksi perkawinan ini. Oleh karena itu, dengan adanya tradisi bajapuik ini Pariaman memiliki ciri khas tersendiri dalam tata cara perkawinan dalam kebudayaan Minangkabau.
Pada umumnya bajapuik (dijemput) merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang minang dalam prosesi adat perkawinan, karena dalam sistem matrilineal posisi suami (urang sumando) merupakan orang datang. Oleh karena itu, datang karano dipanggia – tibo karano dianta (datang karena dipanggil – tiba karena diantar) diwujudkan kedalam bentuk prosesi bajapuik dalam perkawinan. Namun, di Pariaman prosesi ini diinterpretasikan kedalam bentuk tradisi bajapuik, yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti uang. Sehingga kemudian dikenal dengan uang japuik (uang jemput), agiah jalang (uang atau emas yang diberikan oleh pihak laki-laki saat pasca pernikahan) dan uang hilang (uang hilang).
Secara teori tradisi bajapuik ini mengandung makna saling harga menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki. Ketika laki-laki dihargai dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan dihargai dengan uang atau emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuikatau dinamakan dengan agiah jalang. Kabarnya, dahulu kala, pihak laki-laki akan merasa malu kepada pihak perempuan jika nilai agiah jalangnyalebih rendah dari pada nilai uang japuik yang telah mereka terima, tapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Makna saling menghargai inilah yang menjadi prinsip dasar dari tradisi bajapuik.
Namun, dalam realitasnya yang terjadi saat ini, terdapat jurang yang tajam antara teori dan prakteknya. Tradisi yang dilaksanakan oleh masayarakat hingga kini sudah jauh berbeda dengan prinsip dasarnya. Jika sebelumanya nilai agiah jalang melebihi uang japuik, maka dalam prakteknya sekarang nilai agiah jalang malah lebih rendah dari pada nilai uang japuik. Bahkan dalam perkembangnya muncul pula istilah yang disebut dengan uang hilang. Uang hilang ini merupakan pemberian dalam bentuk uang atau barang oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki, yang sepenuhnya milik laki-laki yang tidak dapat dikembalikan.
Uang hilang yang sudah diberikan kepada pihak laki-laki tidak dapat dikembalikan, apapun yang terjadi baik pada masa pra nikah maupun pasca nikah. Pihak perempuan tidak dapat menuntut pengembalian, jika pihak laki-laki membatalkan dan mengambil uang hilang.
Sedangkan uang japuik, dimana secara hukum adat, apabila ikatan pertunangan dibatalkan oleh salah satu pihak, maka pihak yang membatalkan ikatan pertunangan diharuskan membayar dana sebesar uang japuik atau disebut juga dengan lipek tando (uang denda).
Fakta dilapangan mencatat bahwasanya perbedaan antara uang japuikdan uang hilang semakin samar, sehingga masyarakat hanya mengenal uang hilang dalam tradisi bajapuik. Biasanya uang hilang ini digunakan oleh pihak laki-laki untuk membiayai resepsi pernikahan, seperti untuk biaya makanan, biaya pelaminan, tenda dan perangkat hiburan dll. Disamping itu, sebagian kecil disisihkan untuk membeli perhiasan untukagiah jalang sebagai barang yang akan diberikan kepada pihak perempuan dalam prosesi manjalang.
Semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin banyak biaya resepsi pernikahannya. Dengan kondisi tersebut pada akhirnya status sosial dan status pendidikan mempengaruhi jumlah uang hilang yang akan diterima oleh pihak laki-laki. Sayangnya fenomena ini semakin berkembang dalam tradisi bajapuik, sehingga tak mengherankan jika seorang yang status sosialnya tinggi akan dinilai dengan nilai uang hilang yang tinggi pula.
Disisi lain, tradisi bajapuik ini dianggap tidak bertentang dengan ajaran dalam islam yang mana laki-laki membayar mahar kepada perempuan. Disamping melaksankan tradisi bajapuik yang dianggap hanya sebagai hadiah perkawinan, masyarakat Pariaman tetap membayar mahar sesuai dengan ajaran islam.
thanks to @gusti 'ajo' Ramli
thanks to @gusti 'ajo' Ramli
0 komentar:
Posting Komentar