Aku masih melihat pak mentri
ditelevisi, masih tubuh yang itu, yang dulu tertampak dilayar kaca hadir di
Nunukan dengan segenggam batuan dan segulung peraturan atas nama kesejehteraan
“kita”. Sebentar tadi, sebelum ia duduk menuliskan kisah ini, masih kulihat pak
mentri di dalam “dialog TV”. Dia belum
turun jabatan, belum pula berganti jas, masih persis yang dia pakai di Nunukan
dulu, tetapi dia tidak lagi bicara tentang TKI, Entah dia telah melupakan
“kita”?
“bagaimana soal TKI kita sekarang
pak?”
“soal TKI bermasalah itu sudah kita
bereskan, sudah ada MOU dengan pemerintah Malaysia, sekarang tidak ada masalah
lagi yang terdengarkan?”
“baikalah pemirsa, karena
keterbatasan waktu, kita akhiri dialog kali ini…. Terimakasih atas kedatangan
bapak distudio kami.”
Berjabatan
Acara usai……..
***
Tapi apakah urusan kita telah
selesai kawan-kawan TKI ku?
Jangan cepat percaya, karena
dinegara ini tidak ada urusan yang benar-benar selesai, yakin saja, karena
dateline segala sesuatunya itu adalah tak pernah ada, dia tak ada untuk ada…..
seperti siaran televise yang tak pernah benar-benar usai, karena ada program
lain setelah yang lalu terlewatkan.
Demikian tragedy berulang. Kita
yang belasan tahun lalu berlayar menyebrangi selat malaka, menguih ombak,
menyusup dalam gertak nasip dengan tawaran perubahan, hari ini masih saja
seorang budak. Buruh murahan dengan mental terbelakang. Yang pergi bila diusir
dan dating bila digelandang. Dan hari ini kita tetap bukan siapa-siapa. Semakin hari jumlah ‘kita’ terus bertamba
menjadi ‘kita-kita’, kumpulan buruh migrant. Yang kehidupannya makin diperas,
makin terlunta dan makin tidak sejahtera. Karena dunia tidak semakin baik
bukan? Lali apa arti pencarian kita sesungguhnya kawan? Kita yang telah dijual
murah ini adalah onggokan mesin pencari uang saja bagi kelompok kecil yang tak
bisa kita tuduh siapa mereka.
Semakin masa berlalu, tapi tak juga
kenangan pahit itu berganti manis, tidak karena kita tidak benar-benar
menghapusnya……
Masih ingatkah kawan, bagaimana
kita diperlakukan dijalan-jalan umum, dilingkungan pabrik yang sesak dan
berdebu, disaat letih dan peluh yang mencucur, ada saja mata-mata yang
memandang rendah.
Dengarkan!! Ketika kita coba
bertahan dan tidak membiarkan tangan-tangan jahil dan mata-mata usil itu
menjamajh bagian-bagian tubuh perempuan-perempuan kita, mereka berteriak marah,
dengar…. Dengar panggilan itu masuk kejantung hati kita, seperti belati yang
ditusukkan tanpa ampun, ‘jangan sok hoii…tahulah, budak indon … bohsia … budak indon murahan’!!
Kita pelacur dihadapan mereka … dan
kita tidak tahu satu pun pasal dalam kitap undang-undang yang bias menerima
pengaduan, yang bias melindungi kita dari penghinaan itu.
Lalu dengan apa kita hapus
kepahitan itu, kalau nyatanya kita tak punya kuasa?
Suara?
Tidak mungkin! Suara kita tertelan
deru pabrik dan gemerincing ringgit.
Negara?
Nisbi! Negara kita sedang sakit,
perlindungan apa yang bias kita dapat sari bumi yang babak belur ini? Kita
telah bekerja untuk Negara. Kepergian kita melintasi selat malaka, keringat
kita yang mengalir jatuh dari setiap pori dan harga diri yang terkoyak adalah
tebusan buat triliunan rupiah yang mengalir ke kantong Negara. Sementara yang
mengalir ke kantong kita hanyalah sen sen tipis yang hanya bias ditukarkan
dengan sebutir telur dan sebungkus mie instant, selebihnya hanyalah tekanan dan
sikap rendah diri.
Kita punya Negara yang sedang
sakit, mengadu pun hanya sia-sia.
Luka, ya kita dilukai, kita
terluka! Dan kita masih menanggung semuanya dalam diam tanpa pembela.
Lalu akankah kita mengubur segala
kepedihan itu? Diam dalam tekanan rasa rendah diri dan membibitkan rasa itu
pada anak-anak yang akan lahir dari perempuan berjiwa buruh. Tidakkah kita akan
mewariskan sebuah kesalahan kawan?
Ingin rasanya menuntaskan dan
menyelesaikan tragedy “kita”
Kita memaqng berhak mencari
peghidupan yang layak bukan? Kalau jalan
yang ada hanyalah menjadi TKI karena lahan untuk orang semiskin kita memang
sempit, apakah yang mesti dilakukan? Keluguan kita telah mendatangkan devisa
buat Negara.
Gelar pahlawan buat kita terlalu
berlebihan, kita tidak menginginkan sesuatu yang muluk itu bukan? Kita
menginginkan sesuatu yang mungkin sederhana bagi orang lain tetapi itu soal
hidup dan mati buat kita, kita menginginkan sedikit bekal untuk hidup dan harga
diri yang utuh!
Untuk
itu kita harus merebutnya ditempat dia terampas. (dikutip dari fiml
‘melana’ sutradara Monica Bellucci)
Untuk kerja ini kawan, ku katakan
bahwa tak pernah aku benar-benar lelap dalam tidurku yang terpicing.
Dalam kondisi yang serba buruk dan
terpuruk, kondisi yang menjadikan sebuah janji-janji yang seperti mimpi yang
membuat gadis-gadis muda terhipnotis, hingga menggadaikan sawah, rumah,kebun
bahakan orang tua menggadaikan diri untuk menjadi tukang cuci dan pengasuh
anak-anak mereka yang berduit, tragis sekali!! Semua ini hanya untuk
keberangkatn mencapai mimpi yang dijanjikan, memburu ringgit di negri jiran.
Kemisinan membut rapuh…
Tak banyak vcerita selain kerja
yang telah menunggu untuk segera dituntaskan.
Hadirkan tekanan dan perlakuan yang
merusak hati.
‘budak indon malas… budak indon
murahan… budak indon bohsia….’ Semua cerca kita tanggung karena inilah jalan
untuk sebuah harapan.
Dan diakhir bulan semua mimpi
memudar, slip gaji yang kita terima penuh oleh potongan-potongan. Pajak pekerja
asing, seratus ribu ringgit, potongan untuk agen penyalur tujuh puluh lima
ringgit, asuransi pekerja dua puluh lima ringgit, denda keterlambatan sepuluh
ringgit…..
Yang tersisa ditangan hanyalah dua
puluh lima ringgit.
Bayangkan bagaimana kita akan
bertahan hidup kalau harga nasi saja sepiring adalah tiga setengah ringgit?
Lalu mana ringgit-ringgit yang akan kita kirimkan untuk menebus sawah yang
tergadai?
Bulan kedua kita semakin dipaksa
untuk bekerja keras, dari pukul tujuh kepukul tujuh, dan kita juga terpaksa
untuk hanya makan nasi sekali sehari, pucat, lesu dan kita mulai marah pada
keadaan bukan?
Kita ingin lari ketempat-tempat
yang seakan-akan menjanjikan gaji yang lebih baik. Tapi bagaimana mungkin
karena passport dithan oleh perusahaan, tanpa surat resmi itu maka kita adalah
pendatang haram.
Tetapi bulan berikutnya kondisi
semakin tidak tertahankan, banyak perusahaan yang merayu dengan janji gaji
lebih besar, lalu kita sepakat untuk kabur dalam resiko harus jadi pendatang
haram.
Ku buka cerita ini agar pak mentri
bias memahami kenapa kami mesti menjadi pendatang haram dibumi jiran ini, kami
tak hendak pak! Tapi kami terpaksa….
Kabur!!!
Menjadi pendatang haram.
Ditangkap dan dipenjarakan disebuah
lokap
Ingatkah bagaimana kita telah menjalani
hidup disana? Mesti menciumi kaki para sipir hanya untuk sepotong roti kering,
darah mensturasi kita berceceran karena tak ada seringgitpun ditangan untuk
pembeli selembar pembalut. Jorok! Hinaan, cercaan dan cambukan! Kita seperti
bukan manusia.
Dititik paling hina, kemudian kita
menjadi seperti apa yang kita tuduhkan.
Tak perlu kuteruskan lagi cerita
ini bukan???
*thank for the sweet note Kabati